Lemparan Fitnah Tetangga


Dikampungku dulu dan mungkin kampung-kampung lain yang masih jauh dengan tradisi metropolitan, tenggang rasa-tepo seliro dan kesetiakawanan terasa masih tinggi. Karna kesetiakawanan terpelihara dengan baik itu maka sikap ewuh pakewuh / budaya malu juga masih tinggi. Dus dengan hal-hal itu orang malu untuk berbuat hal yang tidak baik atau melanggar norma. Bahkan pelaku dari tetangga desa pun terkadang kita mendengar atau mengetahui perbuatan tidak baiknya. Tapi untuk zaman sekarang, entahlah broo..zaman sudah berubah semakin tua saja. Dan diriku tak kuasa merekam perubahan dunia yang selaksa berlari sangat kencang itu.

Cerita ini terjadi ketika doi masih duduk di sekolah STM (1995-1996). Dikampungku dulu kalau musim kemarau panjang seperti kampung-kampung lain juga mengalami kekeringan air ( padahal daerahku dataran rendah bro?). Sumur-sumur pada kering. Sumur itu akan terisi kembali hanya pada tengah malam sampai subuh. Praktis warga yang kesiangan tidak kebagian air. Nah kalau warga bangun subuh bareng maka pasti akan terjadi antrean mengambil air dan aktifitas MCK. Maklum dikampungku tidak semua  warga punya sumur sendiri-sendiri. Dan hampir mayoritas sumur di luar rumah yang terbuka. Jadi warga yang kekurangan air bisa dengan mudah minta ke tetangga sebelah.

Nah pada suatu hari doi sedang mandi dan mencuci pakaian di sumur salah satu tetangga. Kira kira waktu itu pukul antara jam 13:00 s/d 15:00 wib. Doi memanfaatkan waktu yang relatif kosong dari aktifitas warga yang mengambil air atau ke sumur. Aktifitas padat biasanya terjadi pada pagi dan sore hari. Ketika sedang beraktifitas di sumur itu terlihat olehku sekumpulan bebek, sementara ada  seekor bebek yang terdiam tak bergerak. Dan yang lain sibuk mengais dan menyosori air comberan itu.

Pikiranku mulai terusik dengan kondisi salah satu bebek yang tidak bisa berjalan itu. Dalam hatiku bertanya,”Mungkinkah kaki bebek itu patah, sakit atau ada bagian tubuh lain yang sakit?”. Rasa penasaranku akhirnya mencoba untuk meyakinkan, bagaimana sebenarnya kondisi bebek itu. Doi kemudian mengambil beberapa batu kerikil kecil untuk melempari bebek itu. Tujuannya agar ada reaksi dari bebek yang diam tadi apakah bisa berdiri (bukan untuk tujuan menyakiti bebek itu). Ternyata beberapa lemparan batu doi tidak mengenai titik terdekat yang diinginkan. Baru setelah mencoba beberapa kali lemparan, lemparan yang terakhir berhasil mengusik bebek yang diam tadi dan bebek itu mulai berdiri dan berjalan dengan lamban dan terpincang-pincang. Bro, ternyata bebek itu kaki kirinya telah semper (patah) entah siapa / apa yang telah mematahkannya. Sungguh tega orang itu ya bro…

Rasa penasaranku terjawab sudah. Bebek yang diam sedari tadi itu kaki kirinya patah. Doi kemudian membiarkan bebek-bebek itu bermain dan mencari makan di comberan samping tempat doi mencuci. Namun sepertinya apa yang doi lakukan terhadap bebek itu ada yang melihat dari kejauhan. Kemungkinan mbah Mitro, si empunya sumur yang doi pintain airnya. Ahhh.. aku tak begitu menghiraukan dan mempedulikan. Toh niatku baik bukan untuk menyakiti bebek-bebek itu, demikian kecamuk dalam benakku. Walau begitu ada sesuatu yang tidak nyaman di hati kecilku dengan bebek dan mbah Mitro. Dan aku juga masih inget ketika baru tiba di sumur itu, aku melihat mbah Mitro melempar beberapa kali dengan batu untuk menghalau binatang yang mengganggu jemuran padinya. Tetapi memang aku tidak melihat binatang apa yang dilempar mbah Mitro. Hal ini menimbulkan tanda tanya di hatiku. Mungkinkah mbah Mitro yang menyebabkan kaki bebek itu patah?

Setelah dua atau tiga hari berlalu dari kejadian, apa yang kurasakan tidak nyaman di hati kecilku datang menyeruak. Simbok-ku tiba-tiba bertanya kepadaku,”Thole apakah kamu beberapa hari lalu melempari bebek punya budhe Hadi di sumurnya mbah Mitro?”. Jawabku,”Tidak mbok, aku memang melempari dengan batu tapi tidak untuk menyakiti atau biar mengenai bebeknya. Tapi hanya untuk mengetahui kenapa ada salah satu bebeknya yang diam saja. Dan ternyata bebek yang diam tadi sudah pincang kakinya mbok”. Demikian penjelasanku kepada mbok-ku. Mendengar aku bercerita dengan sungguh2 dan memang tak pernah bohong ibuku mempercayaiku dan memang seperti itulah kejadian yang sebenarnya.

Aku  juga menyampaikan kecurigaanku kepada mbah Mitro yang melempar batu dan kayu beberapa kali untuk menghalau binatang yang mencoba memakan jemuran padinya. Lemparan mbah Mitro ini bisa mengenai bebek bisa juga tidak. Hanya Allah yang maha mengetahui. Karna aku juga tidak menyaksikan dengan mataku sendiri. Aku hanya melihat mbah Mitro melempari sesuatu. Mbok-ku hanya manggut-manggut mendengar ceritaku. Dan di akhir interogasinya mbok-ku berpesan,” Ho euh Le syukur yen kowe udu sing mbandem, ojo seneng mbandemi kewane wong liyo yo Le”. ( Iya nak ibu bersyukur kalau kamu tidak melempar, jangan suka melempari binatang ternak punya orang lain ya nak). “Iyo mbok”, begitu jawabku menimpali nasehat mbok-ku.

Selidik punya selidik setelah kejadian di sumur mbah Mitro itu, ternyata simbokku bertemu dengan budhe Hadi. Simbokku langsung ditegur budhe Hadi,”Lek mbok anake dikandani ojo sok mbandemi bebekku tho!”.(Tante, kasih tahulah sama anaknya agar jangan melempari bebekku).  Simbok-ku sedikit bengong mendengar budhe Hadi berbicara seperti itu. Simbok kemudian memperjelas pertanyaan budhe Hadi dengan bertanya kepada budhe Hadi kapan anaknya melempari, kejadiannya di mana, dan siapa yang melihat itu / atas laporan siapa kok budhe Hadi bisa menuduh anaknya?. Dan jawaban yang mencengangkanku adalah bahwa budhe Hadi tahu kalau aku melempari bebek sampai pincang itu adalah dari mbah Mitro???…. “ooo…iyo  budhe mengko tak kandanane anakku”, demikian simbokku menjawab teguran budhe Hadi agar permasalahan tidak meruncing dan menjadi pertikaian antar tetangga.

Pada pertemuan antara simbok-ku dan budhe Hadi memang tidak menyebutkan informasi fitnah yang mengarah kepadaku sebagai yang melempari bebek sampai pincang kakinya itu apakah mbah Mitro Laki atau mbah Mitro perempuan. Menghadapi fitnah itu aku hanya bersabar, yang penting aku tidak melakukannya. Dan yang pasti dosa akan ditumpukkan kepada penyebar/penuduh fitnah.

Setelah sekian tahun kejadian itu, memang sedikit ada perubahan sikap dari mbah Mitro dan budhe Hadi kepadaku dan kepada simbok-ku. Aku tetap bersikap seperti biasa. Setelah mengalami percecokan dengan kerabat tetangganya mbah Mitro laki terdengar olehku sakit lumpuh, dan tidak bisa jalan selama bertahun-tahun. Terakhir lebaran pulang kampung saya ketemu dia sudah mau sholat ke masjid walaupun jalannya sedikit pincang ( hoyag-hoyig tidak sempurna). Mungkin itu balasan jika benar mbah Mitro laki yang melempari kaki bebek hingga pincang. Wallahu a’lam.

Dan kabar baiknya, budhe Hadi suatu saat perlu bantuan pijit dan kerokan. Kebetulan dia cocok dengan pijitan dan kerokan tangannya simbokku. Jadilah hubungan yang agak kaku selama ini jadi cair. Dan moment ini dimanfaatkan oleh simbokku untuk menjelaskan kejadian beberapa tahun yang telah lalu, bahwa yang melempar bebek budhe Hadi sampai pincang itu bukan anaknya simbok. Budhe Hadi menerima penjelasan dan minta maaf kepada simbok. Simbokku juga menerima maaf. Hubungan keduanya jadi lebih baik lagi.

Demikianlah hidup di desa hal-hal kecil bisa membuat kita merasa malu dan tertekan. Status sosial mendekati kasta sangat menyiksa kaum papa. Tetapi juga keakraban dan keharmonisan tanpa pamrih dalam semangat gotong royong banyak dirindukan anak-anak kampung sepertiku. Beginilah hidup selalu ada resiko dan tantangan. Terserah anda mau menyikapinya seperti apa?. Atau seperti pepatah peribahasa,”Dikandang kambing mengembek, dikandang harimau mengaum”. Boleh-boleh saja jika anda sudah siap dengan segala resiko yang akan ditimbulkan.

Sketsa dunia, inilah realita hidup ini.

About Abing Manohara
Hi...Assalamu 'alaikum...I like to write, sharing kindliness and science, tips and solution. Hopefully with this blog many charitable and benefit which I can do for the others people. Solidarity forever....

One Response to Lemparan Fitnah Tetangga

  1. Pingback: The Adventure Of Wong Fei Hung In Nusantara Archipelago « wikisopo

Leave Comment